Selasa, 05 April 2011

Teater Tidak Mungkin Berdamai

oleh Taufik Darwis pada 05 April 2011 jam 16:38

Teater mencoba mengambil posisi penting dalam menyuarakan perdamaian. Ini adalah fakta setelah Institut Teater Internasional (ITI) pada 27 Maret tahun 1961 menciptakan Hari Teater Sedunia. Setelah hari itu komunitas teater internasional selalu rutin merayakan Hari Teater Sedunia ke-50 ini. Begitu pula di Bandung, hari Minggu 27 Maret 2011 di Dago Car Free Day. Melalui inisiatif Teater Cassanova yang kedua kalinya, beberapa komunitas teater di Bandung berkumpul, seperti: Laskar Panggung, Teater Toonel, Syarekat Ababil, Teater Candu, Teater Tjerobong Pabrik, Teater Senapati, Teater Dupa, Teater Patih, Mime SMAN 21, Mime SMAN 15, dan Keluarga Mahasiswa Teater STSI Bandung.

Di ruang penuh manusia yang mencoba berolah raga itu mereka memperjuangkan misi perdamaian di dunia, tentu saja dengan cara teater. Ada yang menggunakan cat-cat warna warni pada tubuhnya lalu berlaku dengan gaya pantomime.

Ada tubuh-tubuh yang terbungkus selimut tetapi mulutnya besar dan tersenyum lebar dan menidurkan dirinya sendiri di jalanan aspal. Ada yang menggunakan pakaian-pakaian ala romawi yang diornamentasi batik. Ada juga perempuan-perempuan yang membawa pistol mainan, badut, anak kecil berseragam SD yang tergelepar di atas buku undang-undang. Tetapi tentu saja misi mereka sama, mencoba menyuarakan budaya perdamaian di Hari Teater Sedunia.

Tetapi jauh dari itu, Teater di dalam dirinya masih menyimpan masalah di sana-sini. Ya, selain terus mencoba membangkitkan pemuliaan kehidupan dengan masih terjadinya produksi-produksi teater di berbagai tempat, teater ternyata masih rapuh. Rapuh karena tak jarang ditinggalkan oleh pelakunya sendiri, dan ditinggalkan dengan hal-hal klasik seperti urusan finansial. Lalu bagaimana teater menjaga agar tidak ditinggalkan oleh penontonnya? Penonton yang datang ke pertunjukan teater untuk menghormatinya. Afrizal Malna pernah mengatakan, bahwa satu-satunya kekayaan teater adalah ia tetap bisa mencipta di tengah-tengah kemiskinan. Mata teater jangan nanar melihat tumpukan uang yang ada dihadapannya, di dalam kaca televisi, di balik berita-berita korupsi yang berdesak-desakan dengan berita-berita lain dan dengan kepentingan lain.

Lalu, perdamaian seperti apa yang dicari teater? Sementara kekerasan terjadi dimana-mana. Bagaimana caranya? Apakah teater harus sering melucu dengan gaya pantomime dan mebuat orang tertawa? Apakah teater perlu terus tesenyum melebihi wajahnya yang kusut karena infrastrukturnya yang jauh dari ideal? Bagaimana mencari perdamaian sementara masih ada manusia?

Perdamaian, sepertiya sulit dijangkau, utopis. Tetapi yang menarik dari misi bersama ini adalah komunitas atau para pelaku teater mempercayai medianya sebagai media paling halus dalam menyuarakan misi perdamaian ini yang berbeda dengan media lain yang malah memperburuk identitas kemanusiaan, seperti perang misalnya. Walaupun seperti Komunitas Teater di Uganda, mereka masih belum bisa membuktikannya. Pembuktian inilah yang mungkin perlu diuji terus, maka tentu saja teater perlu melahirkan gagasan dan bentuknya yang mungkin akan terus sedemikian menjadi lain. Lain gagasan, lain bentuk dan lain pencipta.

Teater masih perlu ada, selama manusia ada. Seperti perdamaian yang tetap disuarakan meskipun mungkin tidak pernah ada. Teater diperlukan sebagai cermin bagi manusia hari ini yang “jarang bercermin”, mungkin malah cerminan itu melebihi manusianya itu sendiri. Hari Teater Sedunia dirayakan tidak seperti hari-hari besar lain. Tidak seperti Hari Kemerdekaan Indonesia atau Hari Raya lainya. Karena meskipun menyuarakan misi perdamaian, teater tidak harus juga berdamaian dengan kemanusian yang compang-camping dihadapanya. Tentu saja dengan kemiskinan yang mendera sekaligus jadi teman untuk mencipta untuk tetap kritis berhadapan dengan segala kemapanan. Dengan segala perdamaian palsu.

*Taufik Darwis, sutradara, tinggal di Bandung

1 komentar: